Dear Bandung,
Si kota kembang, kota yang menyimpan berjuta kenangan.
Duluu sekali, tahun 90an, mengunjungimu minimal sekali setahun pas mudik Lebaran jadi agenda wajib yang ditunggu-tunggu. Ketika itu perjalanan dari ibukota masih memakan waktu yg lama. Lewat puncak, cikampek, ataupun lewat Jonggol. Tak sabar rasanya berkumpul sama sepupu-sepupu yang jumlahnya super banyak itu. Menggelar kasur-kasur di ruang tengah dan tidur berdempetan bersama-sama. Mengobrol sampai malam sambil main game, atau terkadang kembang api. Ah ya, jangan sampai lupa membawa sweater atau jaket. Udara bandung saat itu masih luar biasa dingin, apalagi buat yang terbiasa dengan panasnya udara Jakarta. Ketika hari lebaran tiba, antrian untuk dapat uang lebaran sudah rapi berbaris dari cucu paling kecil ke cucu paling besar, untuk mendapatkan lembaran uang baru dari kakek nenek, dan dari uwa tertua sampai tante om termuda. 11 orang. Keluarga yang sangat besar, ramai, dan Alhamdulillah kompak. Saat antrian selesai, semua cucu sibuk menghitung uang baru, memasukkannya ke dompet sampai menggembung, dan jajan eskrim Walls di warung depan rumah. Walls saat itu adalah eskrim mahal buat kami, tapi saat lebaran itu kami merasa kaya, jadi kami berfoya-foya :D
Dear Bandung,
Ketika tahun 2005, aku melihatmu dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Mulai tinggal sendiri di Cisitu, di tempat kost, membuatku merasakan sensasi yang berbeda daripada hanya sekedar mudik. Walaupun jarak tempat kost dan rumah almarhum kakek nenek hanya sepelemparan batu, dan sudah sangat familiar dengan daerah itu, tetap saja ada yang berbeda. Seperti pengalaman baru, dengan kehidupan baru bersama teman-teman se sma yg ngekost bareng dan juga kampus yang baru. Masih kuingat dengan jelas bagaimana suasana pagi ketika berangkat OSKM, dan juga kesotoyan tinggi salah naik angkot dari simpang, dengan harapan turun langsung di lapangan sipil dan ga perlu jalan dari gerbang belakang, malah naik Caheum Ciroyom dan bukannya Caheum Ledeng. Walhasil lah mesti turun di pertigaan Sumur Bandung situ, dan olahraga pagi jalan kaki sampai ke sipil. Dan mungkin krn spirit kebebasan (dan juga masih excited hidup baru di bandung), ke Gede Bage lah kita modal nekat gatau jalan, cuma tau mesti pakai angkot pink aja sampai ujungnya, krn dikasih tau sama kakak kostan. Berburu baju bekas, atau istilah kerennya sekarang: thrift, dengan harga 1000an. Iya, dulu beneran ada yg harga 1000 dan masih ok kondisinya, jauh sebelum Gede Bage itu booming dan harganya jadi mahal. Pulang-pulang langsung beli Dettol dan rebus air panas, rendam semuanya di ember. Haha.
Dear Bandung,
Dari semenjak awal kuliah sampai beberapa tahun setelahnya, ada begitu banyak cerita dari kehidupan kampus. Kuliah, himpunan, unit, begitu berwarna, begitu menyenangkan. Dan membuatku semakin betah untuk hidup di Bandung. Punya teman-teman yang bisa diajak untuk bersenang-senang, punya tempat tinggal kostan yang dekat dengan kampus. Maklum, semenjak SD dulu rasanya rumahku jadi rumah yang paling jauh diantara teman-teman, minimal satu jam perjalanan pakai mobil lewat tol kalau gak macet. Pergi pagi-pagi buta dari rumah, dan pulang malam jam 9 sampai di rumah, bukan untuk main, tapi untuk bimbel. Bukan, bukan aku tersiksa punya pola hidup seperti itu, aku pun bersenang-senang (baca: belajar sama-sama) sama sahabat-sahabat aku. Tapi, punya tempat tinggal yang dekat dan bisa main sama teman (literally main, ya, ngemall, jalan, dsb) itu jadi impian juga, hehe.
Dear Bandung,
Ada banyaaaaak sekali cerita kalau bicara mengenai dirimu. Aku lahir di kotamu, keluarga besarku hidup di kotamu, Aku habiskan hampir setengah hidupku di kotamu, dan orang tua suamiku juga tinggal di kotamu.
Walaupun engkau sangat dinamis dengan berbagai perubahan yang terjadi, tapi bagiku, Bandung tetap menjadi salah satu kota kecintaanku. Senang, sedih, semangat, depresi, harapan, kehilangan, kehadiran, semua perasaan yang kualami di kotamu telah berbaur menjadi bagian dari cerita kehidupanku.
Maka itu, kutulis surat ini untukmu, untuk menjadi pengingat kecil dari satu-dua episodeku di kotamu, dan mungkin untuk pembaca Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yang juga mempunyai satu-dua episode tersendiri di kotamu.
Dear Bandung,
Tetaplah bersemi.
Mungkin benar, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. :)