Thursday, March 31, 2022

Disabilitas, dulu dan sekarang

 Mengutip dari KBBI, disabilitas mempunyai arti:

  1. n keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang
  2. n keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang biasa.

Ada banyak hal yang termasuk dalam disabilitas. Menurut UU no.8 tahun 2016, terdapat 5 kategori untuk disabilitas, yaitu disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik, dan disabilitas ganda atau multi. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 30 juta jiwa atau lebih dari 14% dari penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas (menurut data Susenas pada tahun 2018, sumber disini.)

Sebagai anggota keluarga dari seorang penyandang disabilitas (autisme) dan keluarga dari yang pernah mengalami patah kaki sehingga harus berada di kursi roda selama beberapa bulan, ada beberapa hal yang mau tidak mau, teramati. Dulu dan sekarang, ada beberapa hal yang berubah, namun ada juga beberapa hal yang sekiranya masih sama. 

Informasi mengenai disabilitas

Seiring dengan kemajuan teknologi, informasi yang didapatkan mengenai beragam disabilitas pun lebih mudah didapatkan. Tinggal mengetik keyword di Google, kita akan mampu mengetahui gambaran secara umum mengenai disabilitas masing-masing. Contoh, bila kita mengetik keyword 'autisme' maka akan keluar gambar di bawah ini:



Walaupun diagnosis yang terperinci harus melalui dokter yang kompeten, namun dengan kemudahan teknologi seperti ini kita akan dapat membaca sekilas apabila ada tanda-tanda disabilitas yang terjadi pada diri atau kerabat, agar dapat mendiskusikannya dengan dokter. Hal ini merupakan suatu kemewahan bila dibandingkan dengan sulitnya mencari informasi mengenai disabilitas 20 tahun silam. Mencari dokter yang kompeten, ataupun komunitas pensupport disabilitas pun harus melalui informasi mulut ke mulut, karena tidak ada atau jarangnya media yang memberikan informasi seperti ini.  

Terapi

Sama seperti mencari dokter atau informasi yang akurat mengenai beragam tipe disabilitas seperti yang telah disebutkan di atas, mencari tempat untuk terapi pun tak kalah sulitnya. Bila sekarang ada banyak sekali tempat terapi, bahkan ada yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah saja, namun tidak dahulu. Dulu 20-10 tahun yang lalu, kami harus sampai ke Bogor untuk menjalani terapi. 

Namun dalam masalah terapi ini, ada satu kesamaan yang dirasakan dari dulu maupun sekarang. Terapi ini membutuhkan banyak biaya. Tergantung dari tipe disabilitas yang disandang, jenis terapi pun berbeda-beda. Frekuensi kedatangan pun berbeda-beda, mengacu pada kondisi masing-masing. Karena itu, banyak orang tua yang memiliki anak disabilitas namun tidak memiliki finansial yang cukup tidak membawa anak-anaknya ke dokter atau ke terapis. Seharusnya (dan harapannya), terapi-terapi ini dapat ditanggung oleh pemerintah (misalnya dengan mempekerjakan terapis di puskesmas atau rumah terapi khusus pemerintah, dsb), agar terapi dapat didapatkan secara merata, bukan hanya ornag yang berfinansal baik saja. 

Contoh harga terapi, sumber dari sini.




Fasilitas pendukung di tempat umum

Bila berbicara tentang fasilitas pendukung di tempat umum untuk penyandang disabilitas di Indonesia, tentu kita kalau jauh dengan negara-negara maju misal Singapura. Hal ini tidak begitu dirasakan oleh kita yang dapat berjalan, melihat atau mendengar dengan baik. Namun bila kita menggunakan kursi roda, kemungkinan besar kita tidak dapat mandiri ke tempat umum dengan menggunakan transportasi umum. 

Contohnya: Undakan kecil pada trotar saja sudah sangat menyulitkan pada pengguna kursi roda. Sayangnya, banyak trotoar yang tidak dilengkapi dengan jalur khusus (yang landai) untuk pengguna kursi roda. Trotoar yang ada pun banyak yang tidak memiliki jalur khusus untuk penderita tuna netra (jalur yang bertekstur), sehingga penyandang tuna netra harus berhati-hati bila berjalan di trotoar. 

Begitu pun dengan tranportasi umum, yang tidak atau kurang mendukung untuk pengguna kursi roda. Pengalaman yang berkesan ketika saya pergi ke Jepang dan melihat ada seseorang yang menggunakan kursi roda dan akan menaiki bus kota. Ketika bus sampai di halte, sopir dari Bus turun, mengeluarkan papan untuk akses semacam jembatan dari halte menaiki bus, dan orang-orang yang di dalam bus pun tidak menggerutu (ya, karena lumayan memakan waktu 3-5 menitan untuk naik busnya, dan orang Jepang sangat peduli dengan waktunya) dan memberikan ruang untuk kursi roda. Semoga transportasi di Indonesia juga dapat bisa memfasilitasi seperti itu ke depannya.

sumber foto


Memang di beberapa tempat telah tersedia fasilitas penunjang seperti lift, namun sayangnya, masih kurangnya kesadaran dari banyak orang yang bukan haknya memanfaatkan fasilitas tersebut sehingga akhirnya fasilitas tersebut dicabut atau menjadi rusak.

Pandangan dari masyarakat

Tentang ini, saya tidak begitu yakin apakah berubah, ataukah sama. Di satu sisi, seiring dengan perkembangan informasi, orang jadi mengetahui bahwa disabilitas itu bukan sesuatu yang harus dipermalukan. Dulu ketika mendengar kata autisme, mungkin dianggap tabu atau aib, atau disamakan dengan orang gila. Namun banyak orang, terutama kaum muda dan berpendidikan yang terjangkau informasinya dan memiliki toleransi tinggi, welcome dengan orang-orang dengan kondisi tersebut.

Tapi di sisi lain, banyak juga yang menganggap autisme sebagai lelucon. Bahkan menjadi momok atau panggilan kepada orang-orang yang tidak mau (bukan mampu) bersosialisasi. Untuk yang tidak terjangkau informasi seperti ini, ya saya hanya menganggap bahwa mereka tidak tahu saja. 

Contohnya, ketika sedang berada di tukang nasi uduk, kebetulan berbarengan dengan sebuah keluarga yang anaknya, saya rasa, berkebutuhan khusus. Anak tersebut ditawari kerupuk oleh tukang nasi uduk, tetapi anaknya tidak mau dan akhirnya orang tuanya yang mengambil kerupuk tsb dan memberikannya ke anaknya, namun anaknya memasukkannya lagi ke dalam kaleng kerupuk. Ketika keluarga tsb sudah pergi, tukang nasi uduknya berbicara pada saya, 'Anaknya kayak idiot ya,'. Saat itu, saya hanya bilang bahwa mungkin anaknya berkebutuhan khusus dan berusaha memaklumi bahwa mungkin, tukang nasi uduk ini tidak pernah tahu apa itu autisme, down syndrome, dsb. 

Saya menaruh banyak harapan untuk perubahan yang lebih baik untuk para penyandang disabilitas. Terutama dari sisi-sisi yang telah dijabarkan di atas. Ingat, bukan pilihannya mereka untuk mau menjadi disabilitas. Maka dari itu, kita harus support agar mereka dapat hidup dengan normal dan mandiri. 

Opini tentang disabilitas ini dibuat dalam rangka Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog
Semoga dapat membuka sudut pandang lain mengenai disabilitas. :) 

4 comments:

  1. Keluarga dari ibu saya juga ada yang diasabilitas teh. Paham betul yang teh Aiti tulis. Untuk sarana prasarana, sepertinya Jakarta sudah banyak melakukan perbaikan, tapi belum merata ya. Semoga lama kelamaan semakin membaik dan bisa memberikan hak yang sama...

    ReplyDelete
  2. Saya inget waktu ke hotto-house minamata. Nah disitu ada beberapa orang penyandang disabilitas, dari ceritanya mereka bisa pergi ke tokyo sendiri (padahal dari ujung ke ujung lintas pulau dan mereka pakai kursi roda) . Dari situ mikir, ternyata bisa banget ya orang dengan disabilitas jadi mandiri banget, asalkan memang fasilitasnya mendukung, semoga suatu saat nanti di Indo juga bisa begitu ya

    ReplyDelete
  3. Ada satu sisi reaksi terhadap penyandang disabilitas yang aku liat menurutku malah berefek memarjinalisasi, yaitu mengistimewakan! Pengistimewaan ini dalam artian melayani atau menunjukkan perhatian secara spesial yang berlebihan. Aku lihat ini kontraproduktif baik bagi penyandang maupun lingkungannya, terutama jika terjadi di lingkungan anak-anak, dan malah mengarah pada kecenderungan perundungan... Membantu kalau diperlukan, tentunya tetap harus ya. Tapi tak perlu berlebihan juga. Insya Allah justru membuat penyandang merasa lebih nyaman... 😇

    ReplyDelete
  4. Aamiin aamiin iya teh Aiti, semoga fasilitas bagi penyandang disabilitas di Indonesia lebih banyak dan memudahkan mereka untuk lancar beraktivitas.

    Wah saya kagum dengan sopir bus Jepang yang membantu menurunkan ibu penyandang disabilitas tersebut, para penumpangnya pun paham dengan hal tersebut tanpa mengeluh. :)

    Opini yang jitu teh Aiti. Semoga ada pihak authority yang membaca tulisan Teteh, dan tergerak untuk memperhatikan lebih perihal ini. :)

    ReplyDelete