Sore
Sore itu tak biasanya himpunan ini sepi. Mahasiswa tingkat 3 sedang berkutat menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan di kuliah besok pagi. Mahasiswa tingkat 2, tak jauh berbeda, harus mengumpulkan laporan praktikum lewat email sebelum pukul 24.00 malam ini. Tingkat akhir? Oh, sebutan lain mereka: kalong. Mereka baru muncul ke kampus dan ke lab tugas akhir masing-masing Ketika matahari sudah meredup dan berganti menjadi gelap malam. Lebih fokus, kata mereka. Padahal, itu hanya alasan saja agar mereka bisa membuat draft sambil menyetel musik kencang.
Fika duduk sendirian di kursi di bawah pohon depan himpunan. Ia tampak memikirkan sesuatu. Sesekali kakinya memainkan guguran daun-daun yang berserakan di dekatnya.
Mang Ujang yang baru Kembali dari mencuci mangkok melihat Fika yang sedang termenung, dan kemudian mendekatinya.
‘Neng Fika, kunaon atuh bengong sendirian, tumbennn.. Biasanya selalu rame ngobrol sama temen-temen. Pada kamarana atuh yang lainnya?’ sapa Mang Ujang.
‘Eh, Mang Ujang.. Iya, yang lain lagi pada ngebikin tugas di atas..’ jawab Fika singkat.
‘Ooh kitu.. Iya atuh, Mang masuk ke dalem dulu yah, mau naro mangkok’
‘Iya Mang Ujang, mangga..’
Mang Ujang kembali sibuk mengeringkan mangkok hingga beberapa lama setelahnya, Ia menyadari bahwa Fika masih terduduk di tempat yang sama.
Mungkin Neng Fika sedang punya masalah, pikirnya.
‘Neng Fika, udah makan siang belom??’ panggil Mang Ujang.
Fika menggeleng.
‘Sebentar atuh ya, dibikinin Mie rebus sepesial,’ kata Mang Ujang lagi.
Sesaat kemudian, semangkuk mie rebus ayam bawang lengkap dengan telur dan potongan sawi dan cabai rawit sudah ada di tangan Fika.
‘Sok dimakan yah Neng, bisi keburu megar,’
Fika mengangguk.
Fika menatap asap yang mengepul dari mangkok itu.
Sesaat ia terdiam lagi. Dan perlahan, mulai memakan mienya.
‘Mang Ujang, nuhun pisan Mang mienya.. Enak, seperti buatan mamah saya..’
‘Sami-sami Neng. Neng Fika teh lagi mikirin apa? Asa udah lama duduk bengong disana.’ tanya Mang Ujang.
Fika, akhirnya mulai bercerita.
‘Ngga papa Mang.. Cuma lagi kepikiran ama mamah saya aja.. Lagi sakit tipes, tapi saya ga bisa pulang.. Lagi banyak tugas dan ga bisa absen kuliah.. Mau mudik juga mahal.. Saya teh jadi merasa bersalah.. ‘
Mang Ujang manggut-manggut.
‘Tapi di rumah sana ada yang temenin Mamahnya Neng Fika?’ tanyanya.
‘Ada sih Mang.. ada Papah, ada ade juga..’ jawab Fika.
‘Hmm Neng Fika, kalo menurut Mang Ujang mah ya.. Neng Fika ga usah ngerasa bersalah atuh kalau ga bisa pulang.. Malah kalau Neng Fika pulang, orang tuanya jd kasian ama Neng karena Neng Fika jadi bolos kuliah.. lagian sakit tipes mah, Insya Allah kalo udah istirahat yang cukup juga sembuh..
Udah sok sekarang mah telepon aja Mamahnya sering-sering.. Ingetin makan, ingetin minum obat.. Ingetin Papahnya Neng juga buat istirahat sama makan yang cukup. Nanti malah kecapean trus gentian sakit lagi.. hehehe,’ kata Mang Ujang sambil tertawa kecil.
Raut muka Fika mulai mencerah. Tanda-tanda kegelisahan yang sedari tadi bergelayut di wajahnya mulai terangkat mendengar nasihat Mang Ujang.
‘Gitu ya Mang Ujang.. Berarti gapapa ya kalau Fika ga bisa pulang sekarang ya..
Kalau gitu, Fika pamit dulu ya Mang mau telepon Mamah dulu seperti kata Mang Ujang. Nuhun pisan ya Mang Ujang..,’ kata Fika sambil berdiri dan bersiap keluar mengambil handphone.
‘Sami-sami atuh Neng.. Mudah-mudahan Mamahnya Neng Fika cepat sehat ya, Aamiiinn..’
‘Aaamiiinn.. Pamit ya Mang!’
indomie rebus telor |
Malam
Suara musik dari arah Campus center terdengar senyap-senyap dari himpunan pada malam itu. Himpunan sepi, ya tentunya, ketika mayoritas anak-anak himpunan menonton konser gratisan di CC. Hanya ada Tania dan Chika yang sedang mengurus laporan kegiatan minggu lalu, dan Mang Ujang tentunya, di himpunan.
Handphone Tania tiba-tiba berdering.
‘Tan, lo dimana?’ tanya Fasya dari seberang.
‘Di himpunan Fas. Kenapa?’
‘Ok. Gw kesana,’
10 menit kemudian, Fasya datang.
Dengan muka tertekuk, dia langsung masuk himpunan dan duduk di sebelah Tania dan Chika, membenamkan muka diantara kedua tangannya. Tania dan Chika berpandangan melihat tingkah laku Fasya yang tidak biasa.
‘Fas, lo kenapa?’ tanya Chika.
Chika mengangkat muka.
Kelihatan hampir menangis dengan mata yang berkaca-kaca, Ia mulai bererita.
‘Tadi kan gw ke CC sama anak-anak.. trus disana, gw ga sengaja ngegap-in Aldo.. Dia baru sampai ke sana, tapi gw liat dia boncengan.. berdua, sama cewe..’
Fasya mulai menitikkan air mata yang sedari tadi sudah menggantung di pelupuk.
‘Haah.. Gimana-gimana, maksud lo si Aldo jalan sama cewe lain??’ buru Tania.
‘Ya gw ngga tau.. tadi waktu gw liat dia turun dari motor sama cewe itu, trus dia liat gw, gw otomatis lari kesini.. Pikiran gw ngeblank banget..’ jawab Tania
‘Lah.. maksud lo, lo cuma ngeliat mereka turun dari motor aja? Ya ampun Fasyaaa.. mereka mungkin abis dari himpunan mereka bareng kalii.. Lo mah ah overthinking banget..’ kata Chika sambil setengah tertawa melihat ekspresi Fasya.
‘Iyaaa Fasya sayangggg.. Lo lagi laper aja kalii.. makanya ngga bisa mikir. Hahaha.. Mang Ujaaaangg, pesen mie goreng yaaaa pake telor 3, pake cengek yang banyakkk biar melek nih si Fasya! Hahaha’ kata Tania ke Mang Ujang yang sedari tadi ikut mendengarkan cerita mereka dan tersenyum-senyum melihat kelakuan 3 sahabat karib itu. Romansa anak muda, pikirnya.
Sesaat kemudian, 3 piring mie goreng telur ala Mang Ujang sudah tersedia.
‘Udah jadi Nengg, lengkap pake saos ama cengek yang banyak biar seuhahhh.. hehehe.. Biar Neng Fasya jadi ga mikirin pacarnya ajah, jadi mikir mesti gimana ini ngilangin pedes di mulut.. Lagian lebih seru juga ngumpul ngariung sama temen-temen kayak gini, ya ga Neng Tania, Neng Chika?’ kata Mang Ujang sambil mengedipkan mata ke Tania dan Chika.
Tania dan Chika sontak tertawa.
‘Tuuuh Fas, denger tuh kata Mang Ujang.. Hahaha.. Yuk ah makan mumpung anget!’ kata Chika.
‘Hehehehe.. iya deh Mang Ujang.. makasih ya.. ‘ kata Fasya sambil tersipu malu.
mie goreng pedas |
Siang
Dag dig dug hati Bagas siang itu di depan pintu ruang seminar. Hari ini, gilirannya untuk sidang Tugas Akhir di jurusan. Dan tadi, dia sudah presentasikan pekerjaannya selama hampir 1 tahun ini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen-dosennya. Ada yang bisa lancar dijawabnya, ada yang dijawab dengan muka kosong alias tidak tahu jawabannya, atau lebih tepatnya, tidak tahu ini maksud pertanyaannya tentang apa. Haha. Bagas sudah pasrah.
Dari tadi dia hanya mondar mandir di depan pintu sambil sesekali mengintip melihat ekspresi para dosen yang sedang berdebat menentukan nilai di dalam sana, terutama ekspresi dari wajah dosen pembimbingnya.
Teman-teman Bagas yang juga ikut menunggu dari mulai awal sebelum Bagas masuk ruang sidang sampai sekarang ikutan tegang. 2 jam lamanya, 2 jam yang dipertaruhkan dari ribuan jam persiapan demi mencapai satu huruf yang didambakan. A, B, C ataukah perlu beberapa puluh atau ratus jam lagi untuk persiapan ulang dan mengulangi 2 jam ketegangan yang sama?
Sang dosen pembimbing berjalan ke luar pintu dan memberi sinyal agar Bagas masuk ruangan. Akhirnya, inilah saatnya, kata Bagas dalam hati. Segera setelah Bagas masuk, seperti pada sidang-sidang yang lain, teman-temannya berkumpul berkerumul di depan pintu untuk mengintip, lagi lagi ekspresinya, kali ini dari wajah Bagas.
Syukurlah, Bagas tersenyum, sambil mengusapkan kedua tangan ke muka.
Teman-temannya mulai bersorak dalam bisik, menunggu prosesi selesai dan dosen-dosen keluar dari ruangan. Bagas dan teman-temannya langsung menuju himpunan. Khusus pada event seperti ini, dosen-dosen dan para pegawai TU tidak marah atau cemberut karena berisik para mahasiswa. Mereka turut senang, karena kelulusan mahasiswa adalah keberhasilan dan kebanggaan bersama di jurusan. Terlebih, ini Bagas. Teman-teman dan dosennya tahu bagaimana perjuangannya menyelesaikan studi sambil bekerja dan menjadi ojek online, untuk membayar studi dan membiayai kehidupannya sendiri.
Di Himpunan, suasana sangat meriah dengan suara tawa riuh rendah. Semua gembira, tak terkecuali Mang Ujang. Mang Ujang tahu bagaimana seringnya Bagas memesan mie buatannya, ditambah dengan nasi putih, yang seringnya kombo karbohidrat itu merupakan makanan pertama, kalau bukan satu-satunya hari itu.
‘Teman-teman, izinkan aku mengucapkan sesuatu. Aku ingin berterima kasih kepada kalian semua untuk semua bantuan kalian semua selama ini. Terima kasih karena kalian tidak malu berteman denganku, dan malah mendukungku sampai aku berhasil menyelesaikan Tugas Akhirku. Dan untuk syukuran kelulusanku hari ini… Hari ini kalian semua boleh memesan mie di Mang Ujang! Nanti aku yang bayar! Mang Ujaaaang, ok Maaangg??’ teriak Bagas ditengah kerumunan teman-temannya sambil tersenyum lebar.
‘Okeeeeehh siapp! Dan untuk syukuran Bagas ini, geratissssss telor buat semuanyaaa!’ sambut Mang Ujang yang disambut tepuk tangan gempita dari Bagas dan anak-anak himpunan lainnya.
Sambil mendekati Mang Ujang, Bagas berkata pelan kepadanya, ‘Mang Ujang, terima kasih banyak ya untuk semuanya. Bahkan ketika saya suka ngutang ke Mang Ujang, Mang Ujang masih mau selalu membuatkan mie untuk saya. Mie nya Mang Ujang menjadi penyemangat saya. Makasih ya Mang,’
Mang Ujang, tak bisa berkata apa-apa.
Hanya tersenyum, dan menepuk pundak Bagas pelan.
…
mie pakai nasi |
***
Mang Ujang.
Bukan orang yang punya kuasa seperti Rektor. Bukan pula orang yang berlatar pendidikan tinggi seperti Dosen-dosen. Tapi meski begitu, Mang Ujang selalu yang kami cari di himpunan. Ketika kami lapar, Ketika kami senang, Ketika kami sedih ataupun kesepian. Dan dengan semangkuk mie, tentu saja. :)
***
Cerita fiksi untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog ini berkisah tentang keseharian para mahasiswa yang beragam, dibuat untuk mengenang hari-hari yang dulu dihabiskan di himpunan. Bersama teman, bersama dengan hangatnya lika-liku kehidupan para mahasiswa yang baru beranjak 20an. 😊
Ya ampun Aity, untung lho baca ini pas udah makan siang. Indomie dimana-mana, bisa-bisa langsung bikin haha.
ReplyDeleteBener ya, banyak Mang Ujang Mang Ujang yang berjasa membantu kita, pahlawan tanpa tanda jasa.
Auto ingat almarhum Pak Kandar, penjual mi telor buat anak-anak AR. Tiap jurusan kayanya pasti ada ya penjual-penjual legendaris yang selalu dekat dengan para mahasiswa.
ReplyDeleteha3 ... indomie di Arsi juga mantap banget teh ... jaman itu (sebelum gedung lama diruntuhkan) ada di belakang IMA-G dan kalo hujan sudah pasti antri deh!
ReplyDeleteWah Mang Ujang, masya Allah. Beliau baik banget. Banyak mahasiswa yang seketika lupa setelah makan mie-nya Mang Ujang. Pendengar yang baik, pemberi saran yang jitu, chef mie andalan, dan boleh diutangi pula ehehe. :)
ReplyDeleteEhehehe sepemikiran dengan Mamah May, foto-fotonya, apalagi yang pake cengek, wadawww bikin ngiler ehehe, padahal sudah jam 8 malam.
Ceritanya ringan, unik, dan bikin senyum-senyum. :)
Btw itu tadi yang Aldo sama Fasya kumaha terusannya? Ihihihiiy.
Jadi inget kantong mahasiswa jaman dulu..yg kalau mau makan agak mewah ituu pesennya yaa indomie 🤭.. dulu mah saya pesen di warung pinggir jalan teh..di depan Batan, waktu gedung MA masih dempetan sama TI.. nuhun ceritanya ya teh..
ReplyDeleteMang Ujang apa kabar? Masih jualan mie? Mie goreng cabe ijo ada nggak, Mang? Kebayang enak nih, nge-mie sambil bahas kabar kampus, ngelihatin hilir-mudik mahasiswa lain.
ReplyDeleteMang Ujang
ReplyDeleteJasamu besar sekali mang
sampai nanti para mahasiswa itu jadi orang-orang penting negri ini, pasti selalu ingat jasa mang Ujang, hihi
Sama dengan Mbak Shanty, jadi ingat pak Kandar. Pak Kandar, Mang Ujang dan banyak bapak ibu lainnya yang sangat berjasa bagi kehidupan mahasiswa. Makasih teh tulisannya, ini tribute buat mereka ya ❤
ReplyDeleteTeh.. saya jdi pengen mie..
ReplyDeleteSaya juga suka beli mie kalo lagi ngalong di kampus. Pesen ke pak Kandar juga.. murah meriah mengenyangkan dan menyelamatkan perut..
Mang Ujang ini sepertinya bisa-bisa jualannya 24 jam ya, ada bubur kacang hijo juga ga mang? Kalau di IF nggak ada yg jual ala mang ujang, adanya malah kantin borju yg harganya relatif mahal hehehe.... jadi ga ada mang ujang yg merangkap buat tempat curhat deh.
ReplyDeleteBtw, si mang Ujang ini dapat ijin dari pihak kampus pastinya kan jualan begini?