Hidup ini memang penuh dengan tantangan (dan juga permasalahan), baik kita menyadarinya atau tidak. Terkadang, ada orang yang bilang ingin kembali ke masa kecil atau sekolah dasar, dimana tantangan atau masalah hanyalah PR atau ulangan matematika. Tapi, untuk anak sekecil itu, PR atau ulangan matematika merupakan tantangan yang sangat besar. Bahkan bisa membuat stress dari beberapa hari sebelum ulangannya bila anak kecil tersebut tidak atau belum mampu menguasai bahan pelajaran. Mungkin bagi kita, ya memang semudah menjentikkan jari jika kita mengerjakan PR itu sekarang. Namun, bagi anak itu, PR itulah yang bisa membuatnya naik kelas, seperti yang dituliskan juga dalam prolog tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini oleh mamah admin di website MGN: Tantangan hidup hadir sebagai 'ujian naik kelas' kehidupan.
****
Dalam hidup pribadiku, setidaknya ada 2 tantangan besar yang paling membekas. Satu sudah terlewati, satu lagi sedang dihadapi.
1. Mengejar Strata
Seperti yang pernah kuceritakan pada awal perkenalan dengan para Mamah MGN di blogpost tentang diriku, umur belasan dan dua puluhan hidupku kuhabiskan di ITB. Ya, 13 tahun lamanya aku betah untuk menimba ilmu di kampus kita tercinta ini, dari mulai 2005 sampai 2018, non stop. Walaupun mungkin cerita dan perjuangan di kampus tidak bisa dibandingkan dengan teman-teman lain seperti di cerita mamah Uril maupun teman-teman lainnya, tetapi selayaknya mahasiswa yang setiap akhir kuliahnya harus menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan, selalu ada cerita dalam mengejar strata.
Kalau bisa kubilang, S1 dan S2 mempunyai pola pembelajaran yang mirip, menekankan di kelas, tugas atau praktikum, dan diakhiri dengan tugas akhir atau thesis. Tugas Akhir Sarjana Alhamdulillah berhasil diselesaikan dengan baik, didukung oleh dosen pembimbing yang sangat suportif terhadap para mahasiswanya. Ketika membuat Thesis Magister, karena terpikat dengan subject sewaktu TA, akhirnya kuputuskan untuk mendalami lagi tentang metode tersebut. Lumayan membuat stress sampai bilang ke diri sendiri bahwa ga akan lagi-lagi kuliah gini, salah jurusan sepertinya..
Tapi beberapa bulan setelah (Alhamdulillahnya) lulus, berdirilah aku di depan loket di gedung Annex. Mendaftar sekolah (lagi). Padahal baru aja bilang kalau kapok belajar lagi, huehehe.
Motivasinya kuliah lagi??
Pertama: Ga diajak pak suami (baru mau nikah waktu itu) buat nemenin dia studi di Paris. Wuekekek. Daripada bete bengong sendirian di Indo, yaudahlah kita sekolah aja.
Kedua: Lagi kesengsem sama salah satu topik penelitian yang belakangan ini lagi ngehits di dunia: CCS atau Carbon Capture Storage. Special thanks buat Bapak Dosen pembimbing dari S1 yang mengenalkanku tentang topik ini.
Ketiga: Pengen nerusin cita-cita Aki. Kakekku sangat cinta akan geologi, akan Karang Sambungnya (tempat kuliah lapangan mahasiswa kebumian), akan kampus ITBnya. Sayangnya dari sekian banyak cucu-cucunya, yang meneruskan jejaknya di dunia kebumian hanya aku. Jadi, motivasi yang paling utama ini lah yang memantapkan niatku untuk mendaftar kuliah lagi.
Namun, Aki Dd, begitu kami memanggilnya, belum genap setahun aku memulai kuliah S3 ini, beliau berpulang. Jujur, aku langsung merasa demotivasi. Ditambah dengan hidup LDM yang ternyata sulit kubiasakan. Proposal penelitian pun seringkali ditolak dengan alasan penelitiannya sudah pernah dikerjakan dan diminta mencari keterbaruan lagi. Sungguh, 6 tahun ini luar biasa menguras energi, rasa, uang, dan juga kewarasan. Depresi dan terpuruk.
Aku bangkit lagi untuk menyelesaikan studiku karena Aki Dd (alm). Iya, aku tak ingin merusak citra baik dan nama besar beliau di kampus jika aku drop out dari program ini. Walaupun Beliau sudah tidak ada, tapi aku tetap ingin membuat beliau bangga. Dengan berpegang pada kata-kata 'Do your best so there will be no regret', I did everything I can. Kejar dosen sana, kejar dosen sini, print disini, print disana, submit ini, submit itu. Literally berlari-larian mengejar deadline dan juga tutupnya loket, baik di jurusan maupun di Annex. Alhamdulillah, masih dikasih kesempatan sama Allah untuk bisa lulus dari kampus ITB lagi.
So.. this is for you, De. Miss you :)
Allahumagfirlahu warhamhu waafihi wa'fuanhu, Sukendar Asikin.
2. Kiddos: a Lifetime learning.
Menjadi orang tua memang tidak mudah. Menjadi orang tua berarti harus siap dengan tantangan dan juga pembelajaran baru, setiap harinya. Mulai dari hamil, bayi, toddler, pra remaja, remaja, bahkan dewasa, setiap anak dengan keunikan karakternya masing-masing tentu menjadi tantangan sendiri bagi setiap orang tua. Ketika hamil banyak dari kita yang merasa tidak nyaman dan ingin cepat-cepat lahiran, tanpa tahu bahwa ketika bayi baru lahir berarti kita akan merasakan tantangan begadang berhari-hari, belum lagi kalau puting lecet, pekerjaan rumah terbengkalai, dan sebagainya sampai ada yang menderita post partum depression. Ketika bayi masih kecil dan harus digendong kemana-mana, seringkali kita ingin agar ia cepat merangkak dan berjalan, tanpa tahu bahwa kita harus mengekor dan mengejarnya kemana-mana. Ketika masih toddler, seringkali kita ingin agar ia cepat bersekolah, tanpa tahu bahwa masa-masa bersekolah ada pula tantangan lainnya, dari mulai rengekan mogok sekolahnya, bullying, ataupun ada kalanya kita rindu karena ternyata rumah menjadi sepi ketika mereka bersekolah.
kiddos 💓 |
Pernah ketika anak pertama masih bayi, membaca buku yang mengisahkan bagaimana menjadi orang tua yang penuh senyum sehingga anak-anak dikelilingi oleh energi positif (maaf, lupa nama bukunya..), dan sejak itu, menjadi cita-citaku untuk menjadi orang tua yang seperti di buku itu walaupun TANTANGANnya luar biasa sekaliiiiiiii (maaf capslock jebol :p)
Intinya.. tantangan paling besar yang sedang kuhadapi dan Insya Allah akan terus berlanjut sampai meninggal nanti ya ini: menjadi orang tua yang baik, soleh/ah untuk anak-anakku.
Kalau ada kontroversi yang bilang bahwa anak itu investasi atau bukan, ya, aku setuju dengan anak itu adalah investasi. Bukan investasi yang seperti apa, namun investasi untuk ketika kami orangtuanya mati kelak, anak-anak kami dapat menjadi anak-anak yang soleh solehah agar dapat mendoakan kami orang tuanya di akhirat kelak. Terlihat ringan, namun inilah tantangan berat bagi kami orangtuanya agar mereka mau melakukan hal tersebut, dengan penjagaan Allah SWT tentunya. Semoga Allah meridhoi, Aamiin.. (bantu aamiinkan yahh yang membaca ini, terima kasih sebelumnya, hehe..)
*****
Tantangan sebesar atau sekecil apapun, itulah yang membuat diri kita menjadi diri kita sekarang.
Apakah kita naik kelas atau tidak, tentu itu semua bergantung pada diri kita sendiri.
Semoga aku, dan kamu yang membaca blog ini dapat naik kelas bersama di tantangan masing-masing. Semangat! :)
Barakallah teh Aiti ... keren banget wisuda 3 kali dari kampus gajah. Sepakat nih tantangan kedua itu never ending ya... menjadi orang tua. Belajarnya seumur hidup. Aku juga ingin jadi anak yang baik bagi kedua orang tua. Karena anak tetap akan menjadi anak ....
ReplyDeleteSemangat belajarnya luar biasa Aiti. Terima kasih sharingnya. Bikin jadi pengen belajar juga.
ReplyDeleteLho lho lho kok ada nama saya, ahaha. Jadi malu Teh. 😅🙏
ReplyDeleteTulisan Teteh membangkitkan semangat dan inspiratif, Teh Aiti. Keren, akhirnya bisa meraih cita-cita, alhamdulillah. Pastilah almarhum Aki di sana bangga dan tersenyum melihat pencapaian Aiti. Selamat berkarya ya Aiti.🥰
Ikut senang dengan perolehan strata sampai 3 kali. Luar biasa.
ReplyDeleteTetap semangat untuk menjadi orang tua dan akan terus belajar menjalani peran orang tua.
Luar biasa semangatnya untuk terus sekolah. Al Fatihah buat Aki.
ReplyDelete