Wednesday, June 15, 2022

Dear, kakak.

Tema untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini susah.. tentang Parenting. 

Parenting sendiri, menurutku, adalah hal yang sangat sulit. Rumit. Berkaitan dengan segala aspek. Menyangkut tentang mahkluk hidup, dan keberlangsungan hidup. Non stop. Setiap saat, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. 

Apalagi, parenting sebelum dan sesudah pandemi. Berbeda. Jauh.

Disclaimer: 

I don't feel like I'm a good mom. No, i'm not. Jika postingan dibawah terasa lebih mengandung curhat daripada advice, mohon dimaafkeun. :)

********

Sebelum pandemi, everything's seems fine, and on track.

Di umur di bawah 5, si kakak yang sudah mulai sekolah dari umur 2.5 tahun, ikut juga dengan berbagai les. TPA tiap sore, lego, bola. No pressure, karena dia senang dengan semua subyeknya. He always smile, and happy. I'm  proud too with his achievement.

Tiap sore pun, kami pun selalu keluar untuk bermain di luar rumah. Aku selalu usahakan supaya anak2 bermain berlarian di depan rumah, berkeringat, bersosialisasi dengan teman-teman, atau paling tidak, menghirup udara segar, menikmati dan mengamati alam sekitar. Supaya tidak bosan di rumah, dan yang juga penting: less gadget. 

And then, pandemic hit.

Beberapa bulan pertama #dirumahaja, kita semua masih senang-senang saja di rumah. Kegiatan dirumah diisi dengan berbagai aneka eksperimen sains seru yang kita lihat di buku dan pinterest. He's still happy, dan banyak milestones yang tercapai waktu awal pandemi karena saya bisa leluasa mengajarkan seperti: bisa membaca. 

But who knows, pandemic will last for this long?

*****

Semakin lama di rumah, semakin bosan lah dia. Dan semakin lelah juga kami. Gadget pun menjadi lebih sering menyala di rumah. Mungkin keadaan ini terjadi di hampir setiap rumah, ya. Sekolah online, les online dan saya tambahkan satu les bahasa inggris dengan harapan, bisa mengisi waktu di rumah agar dia tidak bosan dan paling tidak bertemu dengan teman sebayanya di online. 

Tapi ternyata saya salah. Dia tidak enjoy dengan les (via zoom). 

Dan saya, bukannya berempati, malah terus mendesak dia agar do better and better karena saya lihat teman-temannya bisa. Saya lupa, bahwa milestone anak berbeda-beda. Bahwa kesukaan anak berbeda-beda. Saya juga lupa, bahwa ditambah dengan kehadiran adiknya, perhatian kami terbagi, dan walaupun dia adalah kakak, dia tetap masih berumur 5 tahun. Dan sayangnya, saya baru menyadari lagi hal ini di akhir-akhir ini. 

Ketika pergantian jenjang sekolah dari TK ke SD tahun lalu, masih dimasa pandemi yang sedang dalam puncak-puncaknya, ditambah dengan kepindahan kami ke kota lain, mungkin membuat dia, dan saya, kewalahan. Adaptasi dengan cara belajar yang lebih serius dan juga dengan lingkungan baru membuat dia menjadi stress. Ya, saya bisa lihat bahwa dia stress. Tapi lagi-lagi, bukannya berempati, saya mendesaknya lagi, karena lagi-lagi, saya melihat pencapaian teman-temannya.

He's no longer smile a lot. 

******

I know we need to change. I miss his old self who always smile, always happy. But I'm fully aware that I am the person who made him like this. Ketika mereka ada di rumah 24 jam bersama kita, siapa lagi yang membentuk mereka seperti ini? Tentu saja kita. 

Beberapa penyebab yang kupikir membuat burn out menjadi orangtua, adalah:

1. Gadget.

Walaupun memang benar gadget diperlukan untuk sekolah online, tapi karena itu juga dia jadi kenal berbagai game dan tentunya menonton youtube. Masalahnya, ketika dia sudah kenal itu, dia jadi ketagihan. Dan kalau sudah menonton, menjawab ketika dipanggil saja pun tidak. Dan karena itu, saya jadi marah-marah. Walaupun ada time limit, tapi terkadang tidak segampang itu untuk dijalani dalam kesehariannya. (Saya sendiri) perlu lebih disiplin dalam mengatur 'jatah' gadget.

2. Ga usah lihat anak-anak lain

Setiap anak punya milestone sendiri. I repeat that to myself. Anak laki-laki pun berbeda milestonenya dengan anak perempuan. Ga usah banding-bandingin dengan anak-anak lain di kelas, apalagi di sosmed. Just encourage him and compliment him if he make another achievement. 

3. Marah dan tantrum

Marah itu bagiku seperti lingkaran setan. Dia marah, aku marah. Dia tambah marah, aku tambah marah. Ga habis-habis jika marah dibalas dengan marah. Step back, calm yourself first, then you'll be able to calm your child. 

*******

Karena dia sudah terlanjur berubah, yang sekarang bisa kulakukan dan jadi fokusku saat ini adalah agar dia tidak ada inner child yang akan mempengaruhi kesehatan mentalnya kelak. I've done a lot of wrong things to him, and I still do sometimes, here and there. 

Ada satu kutipan buku yang belakangan terngiang,

'How can you care for others if you cannot even care for yourself? 

How can you do good if you don't even feel good? 

I can't love you if I cannot love myself.'

-from The Monk who sold his Ferrari (R.S. Sharma)

Memang betul anak seperti kertas kosong, yang akan tergantung kita akan membuat origami berbentuk apa. Anak-anak, akan dibentuk oleh perlakuan kita kepadanya. I want him to be happy. Jadi yang (sedang dan masih akan kuusahakan) kulakukan sekarang adalah:

1. Emphaty

Posisikan diri pada posisinya. Rasakan apa yang kira-kira ia rasakan. Pedulikan perasaannya. Minta maaf dengan tulus ketika kita kelepasan memarahinya (lagi) karena kita ga tahu ingatan dia yang mana yang akan dia ingat sampai besar.

2. Lower my expectations

Sejujurnya, bahkan dalam urusan akademik sekarang udah ga berharap dia akan bisa ini itu, prestasi ini itu. Untungnya, sekolahnya juga sepertinya santai, bukan yang terlalu mengejar akademis. Segala les online itu? Sudah bye-bye dari dulu demi kewarasan umat. :)

3. Give love

dengan bilang 'Ibun sayang kakak', dengan banyak pelukan, dengan obrolan tanpa distraksi, dengan hadir membersamai di kegiatannya.. kerasa banget deh, ketika kita 'melembut' dengan dia seperti ini, marah2nya dia menjadi berkurang, dia juga jadi lebih menurut dan mendengar kita..

Dan untukku agar bisa melakukan ketiga hal diatas, seperti yang dikatakan kutipan buku tersebut, I give love to myself first. I make myself happy, and I'll care more about myself. So I will ready to give my children happiness. :)

******

I Love you, dear Kakak.

And we will be happy :)



******

I'm writing this post so that you, my dear readers, can learn from my mistakes and won't repeat the same mistakes like I did. Your child is precious. So are mine.  

And to all mothers out there, 

just in case no one told you this yet today:

'You are doing good. Thank you for your hard work in raising your children.'

With love,

Aiti,    





6 comments:

  1. Teh Aiti ... ya ampun aku terharu banget bacanya: Dear Kakak ... kamu harus tahu Ibun sayang banget sama Kakak. Peluk dari jauh ya buat anak-anaknya.

    Setiap tahap perkembangan anak, kita pun sebagai orangtuanya akan terus harus mengembangkan diri. Setiap masa ada tantangannya tersendiri yang unik dan khas. Ya ... Seperti aku sekarang anak 2 sudah di atas usia 20 tahun. Anak bungsu 15 tahun.

    Tetap semangat ya Teh ...
    salam hangat

    ReplyDelete
  2. Puk puk teh Aity. Tentunya semua orangtua ingin yang terbaik untuk anak yaa. Semoga kakak bisa senyum lagi

    ReplyDelete
  3. Mamah Aiti, terimakasih atas tulisan curhatnya yang menceritakan pengalaman Teh Aiti dengan Kakak. Alhamdulillah saya ikut senang membacanya, Teh Aiti sudah bisa memetakan penyebabnya dan mengevaluasi yang perlu dikoreksi dalam membimbing ananda.

    Tidak mudah untuk nge-list dan mengakui bahwa kita salah. Tetapi Teh Aiti dengan tergar menuliskannya. Sungguh pelajaran berharga untuk para orangtua.

    Salam buat Kakak ya. :) 🥰

    ReplyDelete
  4. "I want him to be happy".
    Yes! Our child(ren) happiness is the priority!... 🤗😘

    ReplyDelete
  5. You are doing good!

    Emang jadi orang tua itu tidak mudah, nggak ada formula pastinya. Tapi aku setuju bagian kita nggak bisa mengurus orang lain kalau diri sendiri aja ga keurus. Makanya nih penting buat kita juga menjaga kebahagiaan diri biar nggak jadi kering kerontang karena berusaha membahagiakan anak dan keluarga tapi sendirinya nggak bahagia.

    Jangan lupa bahagia moms....

    ReplyDelete
  6. Ah sama banget. Pandemi ini membuat perjalananku sebagai ortu juga jadi jungkir balik banget. Attachment anak-anak dengan gadget makin bertambah, mereka jadi mager tiap diajak beraktivitas fisik, tensi jadi tinggi karena ortu-anak sering bertemu dan beradu pendapat, belum lagi dua anak pertama udah masuk teen dan pre-teen. Wah aku jadi ikut curhat. Tetap semangat yaaa

    ReplyDelete