ini salah satu dosen saya di kampus, (alm) Mas Wid.
ya, kalau saja semua yang dibilang mas wid di artikel di bawah ini dapat dilaksanakan pemerintah, mungkin negeri kita sudah sebanding dengan negara-negara maju lainnya..
***
Copas via Nurman Diah (via Forum Pembaca The Global Review):
Pesan Perjuangan dari seorang Prof. Widjajono Partowidagdo demi
Kedaulatan, Kemandirian dan Ketahanan Energi Republik Indonesia:
"Indonesia merupakan negara yang lucu. Pasalnya, Indonesia memiliki
sumber energi murah yaitu batubara, tetapi justru batubara tersebut
malah diekspor. Sedangkan Indonesia memilih impor Bahan Bakar Minyak
(BBM) yang harganya lebih mahal. ”Indonesia negara lucu, ekspor yang
murah, tapi impor yang mahal. Orang yang gak kaya minyak tapi pakai yang
mahal. Orang miskin kalau pakai yang mahal maka akan susah hidupnya,”
tegas Widjajono saat ditemui di Ballroom Hotel Kempinski Jakarta, Jumat
(30/3/2012).
Widjajono heran dengan kultur masyarakat Indonesia
yang justru bangga dengan jumlah mobil yang banyak meskipun bahan
bakarnya masih disubsidi. “Mobil di Singapura itu 5 tahun ganti, tapi di
Indonesia malah bangga mobil tambah meskipun BBM-nya disubsidi,”
pungkasnya (detikFinance.com, 30/3/12).
Lebih dari itu, negara
ini juga pas disebut negara aneh. Pasalnya memang banyak keanehan dalam
pengaturan negara ini. Berikut sebagian diantara keanehan yang terjadi
di negeri ini:
Pertama, semua orang di dunia akan sangat takjub
dengan melimpahnya kekayaan negeri ini. Hampir semua bentuk kekayaan
alam ada di negeri ini. Namun anehnya, kekayaan itu tidak bisa membuat
rakyatnya hidup makmur.
Menurut data BPS: (http://www.bps.go.id/tab_sub/
view.php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=23¬ab=1
) pada tahun 2011 orang miskin di negeri ini masih ada 11.046.750 orang
di kota, ada 18.972.180 orang di desa dan secara total di negeri ini
masih ada 30.018.930 orang miskin. Itu pun dengan ukuran garis
kemiskinan di kota Rp 253.016,- per bulan, di desa Rp 213.395,- perbulan
dan secara gabungan ukuran garis kemiskinan jika pengeluaran Rp
233.740,- perbulan. Orang yang disebut miskin di negeri ini jika
pengeluarannya kurang dari Rp 7.790,- perhari. Padahal dengan
pengeluaran sebesar itu per hari hanya cukup untuk sekali makan dengan
lauk ala kadarnya.
Kedua, dengan melimpahnya kekayaan negeri
ini, ternyata pendapatan negeri ini termasuk dari hasil pengelolaan
bermacam kekayaan alam itu tidak cukup untuk membiayai belanja negara
sehingga kekurangannya ditutup dengan mencari utang baik dari dalam
negeri dalam bentuk Surat Berharga Negara dan dari luar negeri. Jumlah
utang pada akhir Januari 2012 yang telah mencapai Rp 1837,39 triliun.
Jumlah itu jika dibagi dengan jumlah penduduk 239 juta maka tiap orang
penduduk temasuk bayi yang baru lahir sekalipun terbebani utang sebesar
Rp 7,688 juta.
Keanehan ini makin menjadi. Negara ini sangat patuh
dalam membayar cicilan utang pokok dan bunganya tiap tahun. Normalnya,
orang berutang itu hanya sementara, sesekali, tidak seterusnya dan punya
rencana atau skenario untuk melunasi utangnya. Itu normalnya. Tapi hal
itu tak terlihat dalam hal utang negeri ini. Utang seolah menjadi
sesuatu yang tetap. Tiap tahun harus ada. Hal itu diantaranya adalah
akibat tipuan doktrin anggaran berimbang. Sayangnya terlihat tidak ada
rencana atau skenario mengakhiri utang itu. Di dalam Buku Saku
Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 bahkan sudah ada prediksi
besaran cicilan utang pokok dan bunga hingga tahun 2055 dan itu bukan
akhir dari cicilan utang. Normalnya, utang itu sifatnya
emergensi/darurat, tapi anehnya dalam pengelolaan negeri ini, utang
justru bersifat baku, tetap dan kontinu. Jelas ini adalah aneh dan
abnormal.
Lebih aneh lagi, ternyata cicilan utang selama ini
tidak mengurangi jumlah utang. Padahal cicilan utang itu jika
diakumulasi sudah melebihi akumulasi utangnya sendiri. Akumulasi
pembayaran cicilan utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun antara
tahun 2000-2011 mencapai Rp 1.843,10 triliun. Tapi anehnya, jumlah utang
negara tidak berkurang tapi justru bertambah. Utang negara per 3
Januari 2012 mencapai Rp 1.837,39 triliun.
Kalau dikatakan
utang itu untuk membiayai pembangunan, maka bisa jadi itu bohong besar.
Sebab sejatinya utang yang diambil itu adalah untuk membayar cicilan
utang. Ambil contoh tahun 2012 ini. Di dalam APBN-P sudah ditetapkan
defisit sekitar Rp 190,1 triliun atau 2,23% dengan rencana akan ditutupi
dari pembiayaan (utang) dalam negeri sebesar Rp 194,5 triliun dan
pinjaman luar negeri sebesar minus Rp 4,4 triliun (artinya total
pinjaman LN berkurang Rp 4,4 triliun). Ternyata jumlah itu habis dan
tidak cukup untuk membayar cicilan utang. Di tahun 2012 besarnya cicilan
utang mencapai Rp 261,1 triliun (cician pokok Rp 139 triliun dan
cicilan bunga Rp 122,13 triliun). Bahkan jika mengacu pada Buku Saku
Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 yang dikeluarkan oleh
Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan di halaman 46 disebutkan,
pagu APBN-P 2012 untuk pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya)
mencapai Rp 322,709 triliun, terdiri dari cicilan pokok utang Rp 200,491
triliun dan cicilan bunga Rp 122,218 triliun. Cicilan pokok utang itu
terbagi dalam cicilan pokok pinjaman Rp 47,400 triliun (pinjaman DN Rp
140 miliar dan pinjaman LN Rp 47,260 triliun) dan cicilan pokok Surat
Berharga Negara (SBN) Rp 153,091 triliun (SBN Rupiah Rp 152,091 triliun
dan SBN Valas Rp 1 triliun). Sementara cicilan bunga Rp 122,218 triliun
itu, terdiri dari cicilan bunga pinjaman Rp 17,887 triliun ( bunga
pinjaman DN Rp 225 miliar dan bunga pinjaman LN Rp 17,662 triliun) dan
cicilan bunga SBN Rp 104,331 triliun (bunga SBN Rupiah Rp 88,278 triliun
dan SBN Valas Rp 16,052 triliun). Jadi seluruh utang yang ditarik di
tahun 2012 sebenarnya bukan untuk membiayai pembangunan tetapi untuk
membayar cicilan utang dan itupun belum cukup dan harus mengurangi
alokasi APBN yang seharusnya bisa untuk membiayai pembangunan.
Ketiga, subsidi secara umum khususnya subsidi BBM dirasakan memberatkan
pemerintah dan menjadi beban APBN sebab menyedot alokasi APBN. Padahal
istilah subsidi BBM itu masih dipertanyakan. Soalnya, istilah subsidi
itu seolah pemerintah mengeluarkan uang dari kantongnya untuk dibayarkan
kepada rakyat atau untuk nomboki pembelian BBM. Banyak kalangan menilai
istilah subsidi BBM itu tidak tepat sebab yang sebenarnya adalah
berkurangnya potensi pemasukan kepada kas pemerintah yang berasal dari
migas. Soalnya diasumsikan BBM itu dijual ke pasar internasional dengan
harga pasar internasional. Namun karena BBM dijual di dalam negeri
dengan harga murah di bawah harga pasar internasional, artinya ada
potensi pemasukan yang hilang dan itulah yang dinamakan subsidi. Nah
jika yang seperti itu dianggap memberatkan pemerintah dan membebani
APBN, anehnya, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tidak pernah
dianggap memberatkan pemerintah dan membebani APBN. Padahal
jumlahnya jauh lebih besar dari besaran subsidi. Dan pembayaran cicilan
pokok dan bunga utang itu artinya uang benar-benar keluar dari kantong
pemerintah, dan bukan hanya berkurangnya potensi pemasukan.
Keempat, pemerintah negeri ini begitu ngotot menaikkan harga BBM
bersubsidi. Diantara alasannya adalah untuk penghematan. Jika harga BBM
dinaikkan, penghematan bisa mencapai Rp 53 triliunan. Anehnya,
pemerintah tidak terlihat ngotot menghilangkan anggaran-anggaran yang
boros dan lebih berkesan kemewahan. Contohnya, anggaran kunjungan yang
lebih bernuansa plesiran yang mencapai Rp 21 triliun, atau anggaran beli
baju Presiden, Wapres, Gubernur, Wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya,
anggaran pembangunan atau renovasi gedung DPR yang sudah bagus, anggaran
fasilitas bagi para pejabat, mobil dinas, dsb. Anehnya lagi, pemerintah
tidak terlihat ngotot membenahi penggunaan anggaran yang selalu saja
penyerapannya numpuk di akhir-akhir tahun yang kemudian rawan
pemborosan, inefisiensi, tidak efektif dan rawan diselewengkan. Lebih
aneh lagi, pemerintah juga tidak terlihat ngotot memberantas korupsi dan
menyita harta koruptor termasuk mengejar uang negara yang
dikemplang dalam kasus Centruy, BLBI dan lainnya?
Kelima, pemerintah bekerja keras meyakinkan bahkan terkesan memaksa
rakyat untuk memahami dan menerima rencana kenaikan harga BBM. Anehnya,
pemerintah tidak terlihat bekerja keras atau bahkan memaksa
kontraktor-kontraktor tambang dan migas agar bagian pemerintah lebih
besar lagi atau untuk menaikkan royalti yang harus dibayarkan kepada
pemerintah. Sekedar contoh, tak terlihat kerja keras dan paksaan
pemerintah kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk menaikkan royalti
PTFI sekedar agar sesuai dengan ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti
emas 3,75 persen, tembaga 4 persen dan perak 3,25 persen. Bayangkan
saja, selama ini royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1%,
untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5%
(jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %. Hal yang kurang lebih
sama juga terjadi pada kontrak karya atau kontrak bagi hasil
pertambangan lainnya.
Keenam, Pemerintah berkeluh kesah dan
merasa berat harus mensubsidi BBM untuk rakyat dengan jalan menjual BBM
kepada rakyat di bawah harga internasional. Karenanya subsidi BBM harus
dikurangi atau bahkan dihilangkan alias BBM harus dijual mengikuti harga
pasar internasional. Dengan itu akan didapat penghematan Rp 53
triliunan pertahun. Menjual BBM kepada rakyat dengan harga murah
dianggap pemerintah sebagai beban. Anehnya, gas dijual ke Cina dengan
harga super murah, tapi pemerintah tidak pernah berkeluh kesah dan
merasa berat.
Padahal menurut anggota BPH Migas, A. Qoyum
Tjandranegara, potensi kerugian negara tahun 2006-2009 mencapai 410,4 T.
Itu sama saja mensubsidi rakyat Cina Rp 100 triliunan lebih pertahun.
Belum lagi ditambah kerugian tak langsungnya akibat PLN tidak bisa
mendapat gas karena dijual ke luar negeri dan PLN harus memakai BBM yang
harganya mahal sehingga PLN harus mengeluarkan biaya lebih banyak
sekutar 37 triliun pertahun. Aneh sekali, pemerintah merasa sangat berat
hati mensubsidi rakyatnya, pada saat yang sama pemerintah sama sekali
tidak merasa berat bahkan merasa senang mensubsidi rakyat negara lain
yaitu rakyat Cina."
(dikutip dari pidato, keynote speech, narasumber dan wawancara di berbagai acara)
* dikutip dari FB Bambang Supono
No comments:
Post a Comment